Minggu, 19 April 2009

Kelopak - kelopak JIWA

gibran.jpgKahlil Gibran:

“Memang benar, aku telah diusir dari rumah suci, karena aku tak bisa menggali kubur dengan tanganku sendiri. Karena hatiku sudah kepayahan mengikuti kebohongan dan kesombongan. Sebab jiwaku tidak mau menikmati harta orang-orang fakir miskin, jiwaku melarang diriku bersenang-senang dengan kebaikan-kebaikan rakyat yang merunduk patuh pada kebodohan.
Aku keluar dengan cara diusir, karena badanku tidak pernah memperoleh kedamaian di ruang-ruang mewah yang dibangun oleh para penghuni gubuk-gubuk kumuh. Karena rongga-rongga badanku tak mau menerima roti yang dioles darah anak-anak yatim dan para janda. Karena lidahku tak mau bergerak melakukan sembahyang seperti yang diperjualbelikan kepala pendeta dengan harta orang-orang yang beriman dan rakyat awam.
Aku keluar dengan cara diusir layaknya penderita kusta yang menjijikkan, karena aku menolak mengikuti aturan mereka sebagai pendeta.” (p. 16)

“Rasa cinta yang kita eluskan ke hati orang yang kesulitan justru lebih tinggi dari kebaikan tersembunyi di bilik-bilik rumah peribadatan. Ucapan-ucapan belasungkawa dan untuk bersabar yang kita dengungkan kepada orang-orang yang lemah, orang bersalah dan orang yang menderita justru lebih mulia dari berlama-lama melakukan sembahyangan yang selalu kita ulang-ulang di rumah peribadatan.” (p. 23)

“Segala sesuatu dalam kehidupan adalah baik adanya. Bahkan juga emas, karena ia memberikan pelajaran. Uang itu seperti dawai-dawai kecapi, siapa yang tidak tahu cara memainkannya hanya akan mendengar dengungan sumbang. Uang itu seperti cinta. Ia membunuh pelan dan menyakitkan orang yang memegangnya. Tapi ia menghidupkan mereka yang memberikannya kepada sesamanya.” (p. 210)

“Cahaya yang sebenarnya adalah sesuatu yang memancar dari diri manusia dan dapat menerangkan rahasia jiwa kepada jiwa yang lain. Ia dapat membuatnya gembira dalam kehidupan ini dan berdendang atas nama ruh. Sedang hakikat kebenaran bagaikan bintang gemintang yang berpijar dari balik kegelapan malam. Hakikat adalah nilai segala sesuatu yang baik di permukaan malam, yang pengaruhnya tidak nampak kecuali bagi orang yang dapat merasakan gurat-gurat pengaruh kebatilan yang keras. Hakikat adalah perasaan kasih yang tersembunyi, yang kita pelajari agar kita senang menghadapi hari-hari yang kita lalui, dan membuat kita bisa mengepak cita-cita kesenangan itu bagi orang lain.” (p. 19-20)

“Manusia memang takut terhadap segala hal, bahkan diri kalian sendiri. Engkau takut kepada langit, padahal ia sumber kedamaian batin. Engkau takut kepada alam padahal ia tempat berdiam kedamaian dan ketentraman. Engkau kepada Tuhan kebaikan dan mengutuknya penuh kemarahan, padahal ia penuh cinta dan ampunan.” (p. 213)

“Keindahan adalah apa yang menarik jiwamu, kepadanya cinta diberikan dan bukan diminta. Dia benda yang kurasakan ketika tangan terulur keluar dari kedalaman dirimu untuk menggenggamnya demi kedalaman dirimu. Dia rantai yang mempertalikan kebahagiaan dan kesedihan. Ia adalah Kegaiban yang dapat kau lihat, Kekaburan yang dapat kau mengerti dan Ketidakjelasan yang dapat engkau dengar. Ia yang Suci di antara hal-hal yang suci yang bermula di dalam dirimu dan berakhir di luar ujung terjauh khayalan duniawimu.” (p. 213)

Tidak ada komentar: